Minggu, 21 Februari 2010

Warga Banggai Deklarasikan Bergabung ke Maluku Utara

Sedikitnya dua ribu warga di Banggai Kepulauan atau Bangkep, Minggu (22/6), tumpah ruah di lapangan Beringin, kota Banggai. Mereka mendeklarasikan penggabungan diri dengan wilayah Maluku Utara dan menyatakan memisahkan diri dari Sulawesi Tengah.

Mereka menilai selama ini Provinsi Sulawesi Tengah idak pernah peduli terhadap rakyat Banggai. Deklarasi ini juga dilakukan sebagai penolakan warga terhadap keputusan Mahkamah Konsitutusi yang menetapkan Salakan sebagai ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan.

Deklarasi pemisahan diri dari Provinsi Sulawesi Tengah dibacakan sejumlah tokoh adat, masyarakat dan tokoh pemuda di hadapan ribuan warga Banggai, yang rela berdiri di bawah terik panas matahari. Puluhan poster menghiasai deklarasi tersebut. Di antara poster itu ada yang bertuliskan “Maluku Utara Yes, Sulteng No, Sultim Bohong”.

Selain membacakan deklarasi penggabungan diri dengan Maluku Utara, warga mengusung sebuah spanduk putih sepanjang 100 meter untuk tanda tangan sebagai wujud dukungan warga. Tak hanya itu, warga mulai mengumpulkan foto kopi KTP dan tanda tangan di sebuah kertas pernyataan yang menyatakan kerelaan bergabung dengan Maluku UTara.

Tokoh pemuda Bangkep, Rizal Arwi, di hadapan ribuan warga mengatakan penggabungan diri Banggai ke Maluku Utara bukan tanpa alasan. Secara historis, katanya, antara kerajaan Bangai dan kerajaan Ternate memiliki hubungan kekerabatan yang tidak bisa dinafikan hingga saat ini. Alasan itulah yang memperkuat dorongan masyarakat Banggai bergabung dengan Maluku Utara.

Bahkan, dalam deklarasi tersebut, para deklator terlibat komunikasi lewat telepon genggam dengan Sultan Ternate. Dalam perbincangan tersebut, Sultan Ternate menyikapi aspirasi warga Banggai dengan mendesak agar mereka segera membentuk delegasi untuk bertemu Sultan Ternate.

Menurut Rizal, Pada tahun 1600, raja-raja kecil yang berasal dari tanah Jawa, antara lain Raja Adi Cokro, yang datang ke Banggai bahkan sempat memimpin rakyat Banggai untuk kurun waktu puluhan tahun.

Namun, saat raja Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, rakyat Banggai kehilangan pemimpin yang disegani dan dipercaya. Maka, Raja Adi Cokro mengutus anaknya, Abu Kasim, yang berada di Banggai untuk bertemu saudaranya di Ternate, Maula Frans Mandapar, untuk datang memimpin rakyat Banggai. Sejarah itulah yang membuat hubungan kuat antara Banggai dan Ternate.

Rakyat Banggai merasa tidak memiliki hubungan kuat dengan Sulawesi Tengah, yang dinilai terus mengeruk hasil kekayaan Banggai dan tidak pernah peduli dengan rakyat yang terus hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. Para deklarator menyatakan penolakan pembentukan provinsi Sulawesi Timur.

Mereka menganggap Provinsi Sulawesi Timur hanyalah angan-angan kosong yang jual para elit yang kalah dalam pentas politik di Sulawesi Tengah.

Meski ada iming-iming pemekaran Banggai Laut sebagai kabupaten sendiri, warga tetap menyatakan penolakan. “Tidak ada pilihan lain, selain bergabung dengan Maluku Utara. Betapapun sulitnya jalan terebut ditempuh, rakyat Banggai tetap akan bergababung dengan Maluku Utara,” para deklarator berseru. Darlis M.


Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/06/22/brk,20080622-126309,id.html
22 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar