Senin, 22 Februari 2010

Sekilas Morowali


Kata “Morowali” dalam bahasa Suku Wana berarti “gemuruh”. Kata Morowali merujuk pada tempat tinggal Suku Wana yang berdiam di sekitar daerah aliran Sungai Bongka dan anak-anak sungainya di pedalaman Bungku Utara. Morowali kemudian diabadikan sebagai nama daerah tempat mereka tinggal.

Kabupaten Morowali dibentuk pada tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang No. 51 tahun 1999. Kabupaen ini mempunyai luas wilayah terbesar kedua setelah Kabupaten Donggala. Potensi yang tengah dikembangkan di Morowali diataranya; lapangan usaha pertanian, ada pula potensi yang mesti dilestarikan seperti Cagar Alam Morowali.

Cagar Alam Morowali yang berada di dalam wilayah Kabupaten Morowali memiliki luas 225.000 hektar. Kawasan ini merupakan wilayah konservasi terluas kedua di Sulawesi Tengah setelah Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Donggala. Berbagai fauna dilindungi di kawasan ini, seperti anoa, babi rusa, musang cokelat, dan burung maleo.

Alternatif potensi yang dapat dikembangkan MorowaIi adalah pertanian, yang selama ini menjadi tumpuan 76 persen penduduk. Komoditas perkebunan rakyat terdiri atas kelapa, cengkih, kopi, cokelat, jambu mete, sagu, pala, dan lada. Jenis tanaman perkebunan yang dapat dijumpai di setiap kecamatan adalah kelapa, kopi, cengkih, cokelat dan jambu mete. Pengelolaan perkebunan rakyat selama ini belum tertangani maksimal.

Potensi perikanan di Kabupaten Morowali juga lumayan cerah. Di antara 10 kecamatan hanya Kecamatan Mori Atas dan Lembo yang tidak memiliki garis pantai, sehingga ada 80 persen wilayah Morowali yang berpotensi untuk perikanan. Nelayan yang tinggal di delapan kecamatan itu mengandalkan Teluk Tolo sebagai lahan tangkapan ikan. Sebagian besar nelayan masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti pancing, bubu, dan jaring angkat. Sisanya, menggunakan alat tangkap modern seperti jaring insang, pukat cincin, dan pukat kantong. Jangkauan penangkapan pun terbatas di sekitar Teluk Tolo karena sarana transportasi masih terbatas dengan memakai perahu tanpa motor. Hanya sekitar tiga persen yang menggunakan kapal motor, selebihnya masih menggunakan perahu tanpa motor atau perahu bermotor.

Penggunaan sarana transportasi dan alat tangkap yang masih sederhana ini berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Jenis ikan ekonomis tinggi, seperti kakap, cakalang, dan tuna, tentu saja masih sulit ditangkap. Selama ini jenis ikan pelagis ekonomis rendah seperti kembung, teri, dan layang yang banyak ditangkap nelayan Morowali. Hasil tangkapan dalam bentuk segar dan kering umumnya untuk konsumsi lokal atau luar daerah. Pemasarannya sampai ke Palu, Kendari di Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

Di kabupaten ini juga dikembangkan perikanan budidaya tambak bandeng. Namun, pengelolaannya masih terbatas secara tradisional. Kecamatan Menui Kepulauan memiliki potensi budidaya rumput laut. Hasil panennya selama ini diambil oleh pedagang Kendari untuk diolah di Kota Kendari.

Potensi tersebut masih terhalang oleh hambatan infrastruktur. Selama ini, untuk mencapai Kolonodale, pusat kendali pemerintahan kabupaten, paling cepat dapat ditempuh satu hari satu malam. Ada dua alternatif jalan. Lewat jalan darat dari Makassar langsung ke Kolonodale, atau dengan pesawat ke Kota Palu. Menginap semalam di Palu kemudian melanjutkan perjalanan ke Kolonodale. Tidak ada kendaraan yang berani jalan malam karena rute jalan ini melewati daerah yang masih menyisakan kekhawatiran pengemudi terhadap kerusuhan Poso.


Sumber :
http://telukpalu.com/2005/08/sekilas-morowali/
4 Agustus 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar