Selasa, 23 Februari 2010

Membangun Pariwisata Kota Palu, Sulawesi Tengah


View Larger Map
Kota Palu sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tengah memiliki kekayaan potensi kebudayaan dan pariwisata yang tidak kalah menarik dengan daerah lain di Indonesia. Palu, yang dikenal sebagai kota lembah secara geografis dan topografinya, merupakan kota tiga dimensi yang wilayahnya terdiri dari pesisir pantai, daratan, dan perbukitan. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas Kota Palu, sehingga tak salah oleh sebagian turis asing yang telah berkunjung ke daerah ini menjuluki Kota Palu sebagai “ the paradise under the ecuator “ atau surga di bawah garis khatulistiwa.
Kawasan obyek wisata yang dimiliki oleh Kota Palu sesuai karakter geografisnya, terdiri dari obyek wisata pantai, obyek wisata lembah / daratan dan obyek wisata perbukitan. Potensi obyek wisata pantai Teluk Palu yang memanjang dari wilayah Palu Barat, Palu Timur hingga ke Palu Utara, sangat cocok dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari, Lembah Palu yang dibelah oleh Sungai Palu, juga tak kalah menariknya untuk dikembangkan menjadi salah satu kawasan wisata air di Sungai Palu, selain situs – situs sejarah yang dapat dikemas menjadi obyek wisata sejarah dan religi. Sebut saja misalnya, Banua Oge atau Sou Raja, Makam Dato Karama, Kompleks Perguruan Alkhairaat, Makam Pue Njidi, Dayo Mpoluku, dan sebagainya. Di wilayah perbukitan seperti Ngata Baru, Padanjese, Bangalana, dan lain – lain, dapat pula dikemas menjadi obyek wisata alam yang indah mempesona.

Selain sektor pariwasata, Kota Palu juga dikenal memiliki ragam seni budaya tradisi dan kreasi yang bila ini dikemas secara baik, digelar secara rutin sesuai kebutuhannya, pun akan menjadi sebuah kekayaan kearifan lokal yang dapat meningkatkan apresiasi, kecintaan masyarakat terhadap seni budayanya, sehingga timbul rasa memiliki, menjaga dan melestarikannya, sekaligus menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi Kota Palu. Masyarakat Kota Palu yang multi kultur, multi etnis dan multi karakter, juga menjadi salah satu daya pikat tersendiri dari Kota Palu. Di kota yang berjulukan “Bumi Tadulako” ini, berdiam berbagai etnis pendatang, selain etnis Kaili sebagai orang Palu asli. Ada etnis Bugis, Makassar, Mandar, Menado, Sangir, Banjar, Jawa, Sunda, Bali, Padang, dan berbagai etnis lainnya, mereka hidup secara berdampingan, saling menghargai, bersatu dalam ikatan silaturahmi antar etnis, dalam satu rasa “penduduk Palu”. Ini yang mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia.

Inilah modal besar yang dimiliki oleh Kota Palu untuk membangun sektor kebudayaan dan pariwisata sebagai asset daerah. Membangun kebudayaan dan pariwisata boleh dikatakan gampang – gampang susah. Karena intinya adalah “membangun karakter untuk menciptakan daya pikat”. Namun demikian, tak ada yang tidak bisa dilakukan, bila didukung oleh kemauan yang kuat serta finansial yang memadai.

Membangun kebudayaan dan pariwisata, sama dengan ketika kita menjual sebuah produk. Produk yang kita jual bukanlah barang instan, tetapi kita buat sendiri, dengan bahan kita sendiri, lalu kita racik sedemikian rupa tanpa meninggalkan taste / rasa dan aroma orisinilnya. Bila metode itu kita gunakan, yakin dan pasti banyak pembeli produk kita. Karena jelas produk itu tidak mungkin ada di daerah lain.

Pembangunan sektor kebudayaan dan pariwisata tidak bisa hanya dilakukan dengan sebuah konsep di belakang meja. Perlu action, gerakan nyata yang tidak gegabah, ber-andai-andai, spekulasi tanpa perhitungan, apalagi kalau kita menghayal “bagaimana kalau kita seperti Bali? Coba kalau kita bisa seperti Jogja? Pada akhirnya waktu kita hanya habis kita gunakan untuk menghayal. Biarlah Bali dengan kemasyhurannya, itulah anugerah Tuhan bagi mereka, karena memang mereka terlebih dahulu bangun dari tidurnya. Jangan kita berkiblat pada Jogja, karena karakter dan tingginya budaya Jawa telah mereka miliki sejak zaman Kerajaan Mataram. Palu adalah diri kita sendiri, karakter kita sendiri, keunikan yang kita miliki sendiri, eksotika itu tidak mungkin orang lain dapatkan di Tanah Toraja, Tepian Danau Toba, Bukitinggi, dan lain-lain, adanya hanya di Kota Palu.

Kalau boleh kita jujur, ketika kita ditanya oleh orang lain tentang budaya dan pariwisata yang menjadi icon, ciri khas daerah kita, wajah ini seolah kita balikkan ke belakang untuk menjawabnya malu – malu. Apa yang akan kita andalkan? Apa salah satu yang kita sebutkan ketika orang lain bertanya? Sudah benarkah jawaban kita? Sesuai fakta-kah cerita kita? Ketika kita pulang melancong dari negeri orang, dari penganan kecil sampai cerita perjalanan, bila kita tulis mungkin akan menjadi sebuah buku “wisataku”. Ketika sampai di Palu, seorang kawan bertanya pada kita, “darimana lama tidak kelihatan?” singkat kita menjawab “dari Bali”, lalu kawan kita pasti bertanya “ sempat jalan – jalan ke Kuta?”….. “bapak dari Jogja rupanya, pasti belanja di Malioboro”, seterusnya dan selanjutnya, begitulah kisah sederhananya. Lalu, saya tidak perlu bertanya “baru pulang dari Palu ya? Kemudian bingung untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya?.

Membangun pariwisata dan kebudayaan, kita jangan “maruk” kata orang Jawa, “nangoa” kata orang Kaili, “serakah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Memang semua menjadi skala prioritas, tetapi langkah yang tepat, satu per satu, taktis, strategis dan tepat sasaran, itu yang teramat penting.

Daerah lain saat ini sedang berlomba – lomba untuk menjadi DTW ( Daerah Tujuan Wisata ) di Indonesia atau yang lebih umum dikenal sebagai daerah destinasi, menciptakan Sadar Wisata dalam masyarakat untuk mewujudkan Sapta Pesona. Apakah Kota Palu tidak bergairah untuk itu? Atau cukup saja mempesona bagi masyarakatnya sendiri?
Tak perlu kita saling menyalahkan apalagi saling mengkritisi tanpa solusi yang sederhana untuk pemecahan masalah ini. Benang merah itu masih membentang, perlahan tapi pasti, putuskan benang merah itu agar terbuka pandangan kita bersama, tergerak hati kita bersama, tekad bersama untuk membangun kebudayaan dan pariwisata Kota Palu yang kita banggakan ini.

Jangan pernah ada kata “itu tugasnya pemerintah”. Sekali kita mengeluarkan kata seperti itu, berarti kita-lah yang “tukang perintah” dan sudah pasti tidak mau menerima perintah. Perintah membangun kebudayaaan dan pariwisata sebagai karakter bangsa, bukan dari seorang pemimpin, tapi yang memerintah dan menjadi pimpinan adalah diri kita sendiri. Pertanyaan sederhana, suka-kah kita dengan musik tradisi “Kakula”? Atau ketika musik itu dibunyikan, kita malah berlalu sambil berceloteh “aahh…ribut! Itu kuno! Orang tua dulu punya!” dan sebagainya.

Keberhasilan pembangunan kebudayaan dan pariwisata adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan pembangunan kebudayaan dan pariwisata, jangan bekerja sendiri karena merasa sebagai penyusun program, kuasa pengguna anggaran, penanggung jawab anggaran, dan lain-lain jabatan birokrasi yang diembannya. Para seniman dan budayawan, organisasi kesenian, juga jangan merasa hebat sendiri, karena secara teknis merasa lebih pintar bagaimana mengemas karya, bagaimana me-manage pertunjukan, yang pada akhirnya kehidupan seni budaya itu stagnan, berjalan di tempat, monoton, dan penontonnya itu-itu saja.

Secepatnya mari kita hilangkan paradigma dan tradisi lama kita membangun seni budaya. Jangan berkesenian karena kedekatan dengan “yang di atas”, berkarya karena pesanan, mencipta karena ada hajatan “bos”, berlatih karena ada lomba, festival, pertunjukan di Jakarta, tour ke Bali, dan sebagainya, tetapi terus meneruslah mengolah cipta, rasa dan karsa.

Bangsa ini telah diikat dengan sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda – beda tetapi satu jua. Demikianlah yang perlu direnungkan untuk dijadikan modal dasar dalam membangun pariwisata dan kebudayaan Kota Palu. Duduk bersama dalam “Libu” pertemuan, mengedepankan slogan “nosarara nosabatutu” ( bersaudara, senasib sepenanggungan ), agar terwujud “Maliu Ntinuvu” ( Hidup sejahtera berkesinambungan).

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu, Dewan Kesenian Palu sebagai mitra pemerintah (bukan pelaku kesenian, tetapi lembaga aspirasi organisasi kesenian ke pemerintah), para stakeholder, serta para pelaku seni, seniman dan budayawan, itulah yang mulai saat ini harus se-arah pandang dan tekad untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan kebudayaan dan pariwisata Kota Palu. Melibatkan pihak ketiga / investor, para pakar sesuai bidangnya, juga salah satu strategi yang tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi kalau sudah mengedepankan perhitungan – perhitungan fee persen pekerjaan, Pasti duluan fee-nya daripada wujud infrastruktur pendukung wisata budaya yang dibangun.

Sekali lagi, mungkin sulit untuk menyamakan persepsi dari berbagai karakter? Tetapi itulah tantangan untuk kemajuan, karena pariwisata dan budaya memiliki karakter yang berbeda – beda sebagi ciri dan keunikannya.

Semoga berhasil atas bimbingan dan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin..


Sumber :
Kahar Palloe
Pelaku, pemerhati seni budaya tradisi khususnya di daerah Sulawesi Tengah. Bekerja di Taman Budaya Sulawesi Tengah. Menulis menjadi salah satu kesukaan.
http://wisata.kompasiana.com/2010/01/30/membangun-pariwisata-kota-palu-di-sulawesi-tengah/
30 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar